"Rahasia tetap akan menjadi rahasia"

Senin, 26 September 2011

Abstrak KIR


Judul             : Industri pabrik kayu antara madu dan racun ( mengungkap   fenomena pabrik kayu di tengah pemukiman warga dan dampaknya terhadap lingkungan abiotik dan biotik)

Bidang          : Ilmu Pengetahuan Alam
Nama             : Devi kurnia pasari, Nia indah Pratiwi Dkk.
Sekolah         : SMA PLUS NEGERI 2 BANYUASIN III, SUMATERA SELATAN

ABSTRAK
Bom Berlian dahulu merupakan salah satu pelabuhan yang dapat disinggahi oleh para saudagar dari luar negeri, yang saat ini diabadikan menjadi salah satu nama jalan dan sungai di pangkalan balai, Kabupaten Banyuasin. Keberadaan Bom Berlian pun dianggap strategis oleh para pendatang baru dari kota sebagai tempat untuk memulai kehidupan baru didukung dengan keadaan ekosistem laut dan darat yang dapat dijadikian masyarakat sebagai sumber penghasilan.
Penelitian ini bertujuan untuk. (1) Untuk memaparkan tanggapan penduduk lama terhadap keberadaan penduduk pendatang baru yang menempati daerah hulu sungai Bom Berlian, (2)  Untuk menjelaskan dampak kesehatan yang dirasakan oleh warga disekitar Bom Berlian, (3) Untuk mengetahui tanggapan masyarakat setempat mengenai keberadaan pabrik kayu di Bom Berlian, (4) Untuk memaprakan apakah aktifitas warga terganggu dari keberadaan pabrik kayu tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode deskriptif analisis, yaitu mendeskripsikan tentang dampak dari keberadaan pabrik kayu  ditengah ibukota kabupaten dan kerugian yang ditimbulkan bagi masayarkat sekitarnya serta menjelaskan tanggapan dari masyarakat terhadap keberadaan pabrik kayu tersebut. Populasi dari penelitian adalah warga disekitar Bom Berlian yang telah tinggal kurang lebih 5 tahun. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan pembagian angket.

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat mmebrikan masukan kepada pemerintah dan masyarakat setempat agar dapatb mempertahankana kehidupan yang nyaman tanpa harus mengurangi keberadaan pabrik kayu sebagai salah satu aset yang dimiliki kabupaten Banyuasin

Kata kunci : Bom Berlian, Pabrik Kayu, ekosistem darat, ekosistem laut.



Jumat, 02 September 2011

teman di sebuah taman


Ada yang kenal ayu?
Umurnya sepuluh tahun, dau tahun lebih muda dariku.

Sabit sendu. Ayu, sahabatku.dia menangis tentang sesuatu hal yang tidak kuketahui. Saat itu aku ada disampingnya. Aku mengajaknya bermain ditepi sungai kecil yang mengalir. Lebarnya tak sampai satu meter. Seekor kunang kunang terbang dengan menggoda. Cahaya dari tubuhnya berhasil menarik minatku untuk menggangu. Aku sibuk dengan teman kecil yang bersinar sedang ayu mengadahkan wajahnya ke langit. Lebih tepatnya langit hitam pekat yang dihiasi bintang-bintang. Tampaknya ia sedang mencari bintang terangnya seperti malam-malam biasanya. Ia memang sangat menyukai bintang. Walaupun itu jauh berbeda dengan ku yang mengangap hamburan bintang lebih mirip seperti muntahan. Kunang-kunang lebih indah untukku, dan ayu tidak terlalu suka kunang-kunang.
”Elin, kau pernah melihat bintang jatuh tidak?” Tanyanya. Tidak, aku belum pernah melihatnya. Lalu suara berat keluar dari mulutnya lagi. ”Aku baru saja melihatnya, cepat sekali”. Belum sempat aku berkata. Bulir-bulir itu jatuh diwajahnya. Sinar bulan memeng tak berhasil menampakkan jelas wajahnya, tapi aku tahu dia sedang menangis. Kenapa kau menangis? Sedang ada masalah ya? Jangan-jangan kau disakiti teman disekolahmu? Atau kau dimarahi guru?. Terlontar banyak pertanyaan dari mulutku. Aku beranjak duduk disampingnya. ”Haha tidak kok, aku hanya bahagia” jawabnya dengan tawa garing ala Ayu. Cuma itu konfirmasi yang kudengar dari banyak pertanyaan ku. Terdengar ganjil memang. ”coba lihat bulan itu? Kau ingatkan, Tyo pernah bilang senyummu seperti bulan sabit itu” dia berusaha menggodaku dengan mengingatkanku pada Tyo. Namun aku tahu itu hanya pelarian. Ia mencoba mengubah jalur pembicaraan. Yang terpikir olehku dia belum siap cerita dengan ku, dan aku tidak akan memaksanya. ”Hey..!? senyumku lebih indah tahu” gurauku dengan cengar cengir. Sambil berdiri ala  salah satu artis hollywood ia berkata ”Seindah bibir Merlin Monroe kan?”. Tawa pun meledak diantara kami. Lalu malam terlewati dengan damai, walau itu tidak berlaku bagi hatinya. Aku yakin.
Rambutnya panjang sebatas pinggang dibiarkan terurai begitu saja. Bandana merah muda senada dengan long dress yang ia kenakan. Bibirnya merah muda tanpa lipbloss. Kulit putih cocok sekali dengan warna matanya yang kecoklatan.. Terlihat sangat lucu dengan mata sipitnya. Mata itu diam-diam memandangku. Memperhatikan setiap sudut wajahku. Tatapannya terkesan ramah. Aku bisa melihat lesung pipit di pipi kirinya menghiasi wajah putih bersih tanpa cacat miliknya. Tanggal 17 bulan februari tahun 2000 aku menempati rumah baruku di pangkalan balai. daerah ini masih sangat asri. Rumahnya saja hanya enam buah dengan satu bedeng1. Nyaman, dengan suplai air yang memadai. Indah dengan semak-semak belukar. Berbeda sekali dengan rumahku dulu. Yang  Sama hanyalah tradisi, setiap ada yang baru pindah tetangga-tetangga akan datang sebagai bentuk sosialisasi. Saat itulahn aku kenal Ayu. Rumah Ayu dan rumahku terpaut tujuh meter. Ayu tidak tergolong keluarga kaya, sama sepertiku. 
11 september tahun yang sama. Mobil PBK warna merah mengaung-ngaung melewati jalan depan sekolah. Aku terus saja melanjutkan makan siang sampai bel masuk berbunyi.  Disekolah aku tak melihat Ayu, kudengar ia sedang sakit. Aku berniat ke rumahnya sepulang sekolah. aku heran mengapa rumah Ayu dikelilingi banyak warga. Rasa penasaran mengerakkan kakiku untuk berlari. Kemudian, Yang kulihat hanyalah seonggok puing-puing usang habis terbakar. Hitam oleh arang. Kulihat ibu dan ayah Ayu menangis tersedu-sedu. Tapi aku tidak melihat Ayu. Menangis.
Ibu mengatakan Ayu tidak berhasil ditemukan. Bagiku itu lebih terdengar Ayu sudah tiada. Ibu hanya tak ingin aku bersedih. Sepanjang malam aku terus merenung mencoba tetap tegar. Kudatangi sungai kecil tempat kami biasa bermain dan tempat pengikat kami. Tapi aku tak menemukan Ayu. Yang ada hanyalah kunang-kunang. Setidak itu lebih baik daripada sendiri.