Ada yang kenal ayu?
Umurnya sepuluh tahun, dau tahun lebih muda dariku.
Sabit sendu. Ayu, sahabatku.dia menangis tentang sesuatu hal yang tidak kuketahui. Saat itu aku ada disampingnya. Aku mengajaknya bermain ditepi sungai kecil yang mengalir. Lebarnya tak sampai satu meter. Seekor kunang kunang terbang dengan menggoda. Cahaya dari tubuhnya berhasil menarik minatku untuk menggangu. Aku sibuk dengan teman kecil yang bersinar sedang ayu mengadahkan wajahnya ke langit. Lebih tepatnya langit hitam pekat yang dihiasi bintang-bintang. Tampaknya ia sedang mencari bintang terangnya seperti malam-malam biasanya. Ia memang sangat menyukai bintang. Walaupun itu jauh berbeda dengan ku yang mengangap hamburan bintang lebih mirip seperti muntahan. Kunang-kunang lebih indah untukku, dan ayu tidak terlalu suka kunang-kunang.
”Elin, kau pernah melihat bintang jatuh tidak?” Tanyanya. Tidak, aku belum pernah melihatnya. Lalu suara berat keluar dari mulutnya lagi. ”Aku baru saja melihatnya, cepat sekali”. Belum sempat aku berkata. Bulir-bulir itu jatuh diwajahnya. Sinar bulan memeng tak berhasil menampakkan jelas wajahnya, tapi aku tahu dia sedang menangis. Kenapa kau menangis? Sedang ada masalah ya? Jangan-jangan kau disakiti teman disekolahmu? Atau kau dimarahi guru?. Terlontar banyak pertanyaan dari mulutku. Aku beranjak duduk disampingnya. ”Haha tidak kok, aku hanya bahagia” jawabnya dengan tawa garing ala Ayu. Cuma itu konfirmasi yang kudengar dari banyak pertanyaan ku. Terdengar ganjil memang. ”coba lihat bulan itu? Kau ingatkan, Tyo pernah bilang senyummu seperti bulan sabit itu” dia berusaha menggodaku dengan mengingatkanku pada Tyo. Namun aku tahu itu hanya pelarian. Ia mencoba mengubah jalur pembicaraan. Yang terpikir olehku dia belum siap cerita dengan ku, dan aku tidak akan memaksanya. ”Hey..!? senyumku lebih indah tahu” gurauku dengan cengar cengir. Sambil berdiri ala salah satu artis hollywood ia berkata ”Seindah bibir Merlin Monroe kan?”. Tawa pun meledak diantara kami. Lalu malam terlewati dengan damai, walau itu tidak berlaku bagi hatinya. Aku yakin.
Rambutnya panjang sebatas pinggang dibiarkan terurai begitu saja. Bandana merah muda senada dengan long dress yang ia kenakan. Bibirnya merah muda tanpa lipbloss. Kulit putih cocok sekali dengan warna matanya yang kecoklatan.. Terlihat sangat lucu dengan mata sipitnya. Mata itu diam-diam memandangku. Memperhatikan setiap sudut wajahku. Tatapannya terkesan ramah. Aku bisa melihat lesung pipit di pipi kirinya menghiasi wajah putih bersih tanpa cacat miliknya. Tanggal 17 bulan februari tahun 2000 aku menempati rumah baruku di pangkalan balai. daerah ini masih sangat asri. Rumahnya saja hanya enam buah dengan satu bedeng1. Nyaman, dengan suplai air yang memadai. Indah dengan semak-semak belukar. Berbeda sekali dengan rumahku dulu. Yang Sama hanyalah tradisi, setiap ada yang baru pindah tetangga-tetangga akan datang sebagai bentuk sosialisasi. Saat itulahn aku kenal Ayu. Rumah Ayu dan rumahku terpaut tujuh meter. Ayu tidak tergolong keluarga kaya, sama sepertiku.
11 september tahun yang sama. Mobil PBK warna merah mengaung-ngaung melewati jalan depan sekolah. Aku terus saja melanjutkan makan siang sampai bel masuk berbunyi. Disekolah aku tak melihat Ayu, kudengar ia sedang sakit. Aku berniat ke rumahnya sepulang sekolah. aku heran mengapa rumah Ayu dikelilingi banyak warga. Rasa penasaran mengerakkan kakiku untuk berlari. Kemudian, Yang kulihat hanyalah seonggok puing-puing usang habis terbakar. Hitam oleh arang. Kulihat ibu dan ayah Ayu menangis tersedu-sedu. Tapi aku tidak melihat Ayu. Menangis.
Ibu mengatakan Ayu tidak berhasil ditemukan. Bagiku itu lebih terdengar Ayu sudah tiada. Ibu hanya tak ingin aku bersedih. Sepanjang malam aku terus merenung mencoba tetap tegar. Kudatangi sungai kecil tempat kami biasa bermain dan tempat pengikat kami. Tapi aku tak menemukan Ayu. Yang ada hanyalah kunang-kunang. Setidak itu lebih baik daripada sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar